Chapter 4 Misi Selesai

Malam turun dengan sunyi di atas gedung Constellation Brands Inc. Lampu-lampu kantor mulai padam satu per satu, menyisakan cahaya remang yang menyusup dari jalanan kota di bawah.

Di atap gedung, bayangan Alea berdiri tenang di samping gardu listrik cadangan. Tangan kirinya menggenggam ponsel dengan sarung tangan kulit hitam, sementara tangan kanan sibuk membongkar panel kecil di belakang panel kontrol keamanan eksternal.

Butuh waktu tiga menit. Tiga menit dalam hening dan kewaspadaan.

Sistem sekuriti yang ia cari bukan hanya pintu atau kamera, tapi jalur komunikasi data yang terhubung ke pusat kontrol logistik dan distribusi global perusahaan. Targetnya adalah menyusupkan satu set koordinat palsu ke sistem, membuat pengiriman senjata ilegal yang tertutup di balik pengiriman wine eksklusif dari cabang cabang Eropa terlihat seperti pengiriman legal.

Klik. Panel terbuka. Alea bekerja cepat. Perangkat kecil sebesar korek api diselipkan dan diaktifkan. Dalam satu detik, jaringan telah menyambung-dan ia hanya butuh sepuluh detik lagi untuk menjalankan enkripsi ganda yang telah disiapkan Steve.

Detik ke-9, misi selesai.

Alea menarik napas, menutup panel, dan perlahan melangkah menjauh. Saat langkahnya berbalik, Arnan sudah berdiri tak jauh dari tangga atap. Bayangan tubuhnya diterpa cahaya malam.

"Jadi ini yang kau maksud?" tanyanya datar, suara tenangnya menyimpan badai.

Alea tak terkejut. Ia tahu kemungkinan ini akan terjadi.

"Aku hanya ingin udara segar," balasnya ringan, nyaris terdengar seperti lelucon.

Arnan melangkah maju. "Jangan anggap aku bodoh."

Alea menyilangkan tangan. "Lalu apa yang kau pikir aku lakukan di sini, Arnan?"

Arnan mendekat, matanya menyapu area sekitar, memperhatikan panel di baliknya yang kini telah tertutup rapi. "Kau bilang kau bukan siapa-siapa. Tapi gerakanmu, caramu berbicara... bahkan caramu mempermainkan orang... itu bukan milik analis keuangan biasa."

Alea menatapnya. Dalam tatapan itu ada tantangan sekaligus permohonan yang tersembunyi.

"Bukannya aku menyuruhmu untuk bertemu di pukul delapan, harusnya kau hadir lebih cepat. Kupikir kau tak mau menemuiku."

Arnan menatap dengan sendu. "Aku tahu kau bermaksud mengecohkanku."

"Apa kau menguntitku sekarang?" tanyanya, mencoba membalikkan situasi.

"Aku mengikutimu karena aku peduli," jawab Arnan jujur. "Dan karena aku yakin kau sedang bermain dengan api."

Sebelum percakapan itu makin dalam, suara interkom dari ponsel Arnan berdering.

"Arnan, Steve di sini. Bisa kau temui aku sebentar di ruang data utama? Ada kebocoran sistem, dan kita butuh tanganmu untuk periksa jalur distribusi ekspor ke Jerman. Ini mendesak."

Suara Steve tenang, nyaris terlalu tepat waktu.

Arnan ragu sejenak. Ia menatap Alea yang tampak tidak tergoyahkan. "Kita belum selesai," ucapnya, lalu berjalan pergi meninggalkannya.

...

Di ruang data utama, Steve berdiri di depan layar besar yang menampilkan grafik pengiriman dan protokol keamanan.

"Aku tahu waktunya buruk," kata Steve saat Arnan masuk, "tapi sistem menunjukkan anomali kecil pada logistik pengiriman malam ini. Aku butuh seseorang yang bisa membacanya lebih cepat dari tim pusat."

Arnan menatap grafik yang disodorkan. Tak ada yang langsung mencurigakan, tapi terlalu rapi untuk sebuah sistem yang katanya 'bocor'.

Steve memperhatikan ekspresi Arnan. "Kau tampak terganggu," ujarnya dengan nada seolah tak tahu apa-apa.

"Aku hanya... merasa ada yang tak sesuai," sahut Arnan pelan.

"Dengan apa?" tanya Steve cepat, lalu menambahkan, "Dengan Alea?"

Arnan mengangkat alis. "Aku tidak menyebutkan namanya."

"Tapi wajahmu mengatakan banyak." Steve menepuk pundaknya, memasang ekspresi bijak. "Arnan, kadang orang-orang yang kembali dari masa lalu hanya butuh ruang untuk memperbaiki hidupnya. Kau jangan terlalu dalam. Kita di sini untuk bekerja, bukan menyelamatkan siapa pun."

Arnan tak menjawab. Dalam pikirannya, ia tahu Steve sedang mencoba menenangkannya. Tapi justru ketenangan itu yang mencurigakan.

...

Sementara itu, Alea kembali ke ruang kerjanya. Ia duduk di depan komputer, membuka file laporan harian yang harus dikirim sebelum tengah malam. Semua tampak normal di layar-tapi di balik itu semua, satu misi berhasil ia selesaikan malam ini.

Namun hatinya tidak tenang.

Ia tahu Arnan tidak akan diam. Ia tahu Steve tidak akan membiarkan Arnan terus mencurigainya. Dan ia tahu, waktunya di sini tidak akan lama sebelum rahasia terkuak satu per satu.

Tapi untuk saat ini, ia berhasil. Dan keberhasilan itu... datang dengan harga yang lebih mahal dari sekadar risiko profesional.

Alea memejamkan mata sejenak. Dalam gelap pikirannya, wajah Arnan muncul lagi-bukan sebagai ancaman, tapi sebagai satu-satunya hal yang bisa meruntuhkan seluruh pertahanannya.

Dan itu... lebih berbahaya dari misi apa pun yang pernah ia jalani.

...

RUANG KONFERENSI EKSEKUTIF – PAGI HARI

Seorang pria paruh baya dengan setelan abu-abu berdiri dengan ekspresi frustrasi. Dialah Mr. Lambert, CEO perusahaan, wajahnya tegang seolah semalam ia tidak tidur sama sekali.

Di hadapannya, para kepala departemen duduk membisu. Layar besar di dinding menampilkan grafik sistem logistik global yang kini mengalami kekacauan-jalur pengiriman senjata terselubung dari Eropa salah rute, terdeteksi oleh pihak berwenang, dan sebagian besar muatan ditahan di pelabuhan Kanada.

"Ini... adalah bencana," ujar Lambert, nadanya dingin namun sarat tekanan. "Kita baru saja kehilangan pengiriman senilai lebih dari sepuluh juta dolar. Dan bukan hanya itu-reputasi kita dipertaruhkan. Semua karena satu set koordinat yang tidak semestinya masuk ke sistem kita."

Ia memutar tubuhnya, menatap para pemimpin tim. "Seseorang menyusup ke sistem kita. Dari dalam. Dan saya tidak akan membiarkan ini berlalu begitu saja."

Keheningan menebal.

"Siapa yang terakhir mengakses panel kontrol eksternal sebelum sistem utama menunjukkan anomali?"

Seorang analis IT berdiri gugup. "Data menunjukkan... akses manual dari rooftop. Waktu sekitar pukul 11 malam."

"Nama?"

Analis itu menatap layar. "Sistem membaca... ID karyawan: Sally Renner."

Nama Sally sudah terbongkar. Arnan yang berdiri tepat di ruang konfrensi- berlari mencari gadis itu. Setidaknya ia tahu di mana gadis itu saat ini.

....

Sunyi menyelimuti saat hanya mereka berdua yang tersisa.

Arnan berdiri tepat di depan gadis itu, sementara Alea masih duduk dengan wajah tanpa ekspresi. Namun dalam tatapannya, ada kilatan peringatan-seolah ia tahu waktu untuk berpura-pura sudah habis.

"Aku tahu apa yang kau lakukan," ucap Arnan, tenang tapi terdengar jelas.

Alea mengangkat alis. "Oh? Apa yang kau pikir aku lakukan?"

"Jangan main-main lagi, Alea. Koordinat palsu itu... bukan kesalahan sistem. Itu rekayasa. Dan hanya satu orang yang punya akses cukup diam-diam untuk menyusupkannya."

Alea tidak menjawab. Ia hanya menatap Arnan seperti seseorang yang sedang menimbang apakah perlu membunuh saksi atau sekadar membiarkannya hidup sedikit lebih lama.

"Dan kenapa kau tidak langsung menyerahkan aku ke Lambert?" tanyanya akhirnya, suaranya dingin.

"Karena aku masih ingin mempercayaimu," jawab Arnan lirih, "meski semua bukti berteriak bahwa aku seharusnya tidak."

Alea berdiri, perlahan. Matanya kini penuh sorotan tajam.

"Jangan mulai lagi dengan kalimat penyelamat itu, Arnan," katanya getir. "Aku tidak butuh kau untuk mengangkatku keluar dari lubang. Aku yang memilih lubang itu. Dengan sadar. Karena dunia ini tidak menawarkan tempat untuk orang baik."

"Aku tahu siapa kamu sekarang," kata Arnan pelan. "Dan tetap saja... aku tak bisa membencimu."

Alea terkekeh, pahit. "Kau bodoh."

"Mungkin. Tapi lebih bodoh lagi jika aku berpura-pura kau tidak bisa berubah."

Langkah Alea mendekat, hanya terpisah satu meja dari Arnan.

"Kau pikir ini tentang pilihan moral? Ini hidup atau mati, Arnan. Kau hidup di dunia yang steril. Aku hidup di tempat di mana kebenaran hanya barang dagangan."

"Aku tak buta soal itu. Tapi aku juga tahu kau bukan monster. Kau masih punya sisa hati-dan aku melihatnya, malam itu, saat kau berdiri sendirian di atap. Kau gemetar."

Alea menahan napas. Arnan mendekat, perlahan.

"Berhentilah, Alea. Sebelum semuanya terlambat. Aku bisa membantumu keluar. Kita bisa akhiri semua ini sebelum mereka menjatuhkanmu."

"Dan kau akan kehilangan segalanya," bisik Alea. "Karirmu. Hidupmu. Nama baikmu."

"Aku sudah kehilangan segalanya saat pertama kali kehilangan ibu dan kali ini terlibat dalam hal ini," sahut Arnan. "Setidaknya biar kali ini aku kehilangan semuanya untuk alasan yang benar."

Keheningan jatuh di antara mereka. Alea menatapnya, matanya mulai berkaca-bukan karena kelembutan, tapi karena luka yang terlalu dalam untuk disebutkan.

Akhirnya ia berkata dengan suara nyaris berbisik, "Kalau kau terus mengikutiku, kau akan hancur, Arnan."

Arnan menatapnya, tak bergeming.

"Maka biar aku hancur bersamamu," katanya pelan.

Alea memalingkan wajah, menarik napas tajam, lalu berjalan keluar dari ruangan.

Sendirian.

            
            

COPYRIGHT(©) 2022