Chapter 2 Pertemuan tak Terduga

Arnan mengambil gunting di meja, bersiap menerima segala serangan apabila gadis itu berniat jahat.

"Dari mana kau tahu namaku?!" tanyanya waspada.

Alea tersenyum tipis. "Dari mana ya?" ledeknya dengan suara pelan namun menusuk.

Arnan menyodorkan guntingnya mengarah ke Alea. "Jangan main-main! Aku tak bakal segan-segan menyakiti wanita."

Alea menghela napasnya panjang, lalu menjelaskan, "Dari foto kecilmu. Tertulis nama Arnan Diandra. Aku rasa itu benar namamu, jadi aku coba panggil dengan sebutan itu."

Setelah menerima pernyataan itu, Arnan menurunkan tangannya dan meletakkan gunting di meja. Rasa curiganya belum sepenuhnya hilang, tapi ia memutuskan untuk mengalah.

"Maaf, aku pikir kau memang sudah tahu. Aku akan tidur. Kamu tidur saja di kasur atas. Aku tidur di bawah."

Sesuai keputusan dari Arnan, ia tidur di bawah, sedangkan Alea di kasur atas. Namun anehnya, saat Arnan mulai memejamkan matanya, ada bayangan yang menutupi cahaya lampu di atasnya. Ia membuka mata, dan mendapati Alea berdiri di sampingnya.

"Sedang apa kau?!" serunya kaget.

"Hanya menutupi cahaya lampu, kau tampak terganggu dengan cahaya. Sepertinya kau tidak bisa tidur dengan lampu menyala," jawab Alea tenang.

"Huh, aku bisa tidur. Sudahlah, tidur saja di sana!"

Alea malah mengambil selimutnya dan berbaring tepat di belakang Arnan. Ia memeluk pinggang Arnan erat, membuat pria itu gemetar.

"Apa gadis ini harus diancam balik, baru dia tahu kalau pria itu bahaya?" pikir Arnan.

Tanpa pikir panjang, Arnan berbalik dan menindih tubuh Alea. Ia menatap gadis itu tajam. "Sudah kubilang aku pria..."

Alea tersenyum, seolah ancaman itu tak ada artinya. "Aku tahu, dan kau pria yang baik. Aku hanya ingin memelukmu. Aku benar-benar merindukan ibuku sekarang, karena kalau hujan dan petir, biasanya ibu di sampingku sambil memelukku."

Arnan terdiam. Ia menatap dalam mata cokelat muda Alea yang berkilau. Cantik... sangat cantik. Rasanya seperti terhipnotis. Ia mulai penasaran apa yang sebenarnya dipikirkan gadis ini.

"Hei?" Alea menjentikkan jarinya, menyadarkan Arnan dari lamunan. Ia buru-buru kembali ke tempatnya, membelakangi Alea.

"Tolong jangan melakukan sesuatu lebih dari ini, aku takut tak bisa menahan diri lebih dari ini," ucap Arnan dengan suara pelan namun tegas.

"Maaf..." Alea menurut. Kali ini, ia tak mengganggu tidur Arnan lagi. Setelah beberapa menit, akhirnya Arnan tertidur pulas.

Pagi hari sekitar pukul enam, seperti biasa Arnan terbangun. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, lalu menoleh ke samping. Kosong. Alea tak lagi di sana. Ia duduk, memandangi kasur atas. Juga kosong.

"Alea!" panggilnya panik.

Ia berlarian ke seluruh penjuru rumah, bahkan memeriksa kamar mandi. "Alea, di mana kau?!"

Arnan juga sempat berlari keluar rumah, berharap Alea masih berada di dekat sana. Namun tetap saja, tak ada jejak gadis itu.

Ia menunduk, memegang lututnya yang mulai lemas karena kelelahan. Ia kembali masuk ke dalam kamar untuk memastikan sekali lagi. Matanya menangkap kemeja yang semalam dipinjam Alea, kini sudah dilipat rapi di atas kasur.

Arnan mengusap wajahnya dengan satu tangan. "Huft, apa aku bermimpi semalam?" gumamnya.

Namun saat ia mengangkat kemeja itu untuk dicuci, sebuah kertas kecil terselip dari saku.

'Terima kasih! Kau pria yang baik yang pertama kali kutemui, aku menyukaimu ❤️ tapi aku rasa kita harus berpisah sekarang...'

"Ternyata bukan mimpi ya..." gumam Arnan sambil memandangi kertas itu lama sekali.

---

Alea POV

Tak kusangka aku harus mengincar laki-laki polos sepertinya. Seharusnya aku tak melibatkan diri terlalu dalam, tapi aku di bawah kendali pria tua itu. Ayahku yang biasa dipanggil Big Boss

Aku selalu melihatnya dari belakang, duduk di kursi goyang, memberi perintah seperti dewa kematian. Jujur, aku membencinya. Karena dia, aku kehilangan Ibu. Wajahnya keras dan bengis, kontras dengan kelembutan yang selalu terpancar dari Ibu.

"Alea!"

Sudah kuduga, Ayah pasti tahu aku sudah kembali. Dua mobil yang mengikuti aku dan Arnan semalam pasti adalah mata-matanya.

Aku tak punya pilihan selain kembali, menuruti perintahnya, dan memberikan laporan tentang misi yang diperintahkannya.

"Sudah kau temukan anak dari Mr. Diandra?" tanyanya.

"Sudah," jawabku datar. "Tapi dia tak sepintar itu. Sepertinya dia tak terkait langsung dengan masa lalu ayahnya."

Ayah tertawa sinis, seolah mengejek keyakinanku.

"Jangan terlalu percaya dengan penampilan seseorang. Bisa jadi dia mengenalimu, dan berpura-pura polos seputih baju yang kau pakai."

Aku menatap ke arah lain. Ucapan Ayah mungkin benar, tapi aku tak ingin menyakiti Arnan. Dalam hati kecilku, aku berharap Ayah menyuruh orang lain untuk menggantikan tugasku.

"Ayah... perintahkan orang lain untuk targetkan pria itu. Aku tak terlalu menyukainya, dia bukan tantangan untukku."

Tertawa lagi. Pria tua itu benar-benar sulit ditebak. Tapi akhirnya, ia mengangguk.

Sebulan berlalu, aku menyiapkan diri untuk misi baru kali ini di Amerika. Ayah mendapat bayaran besar dari klien misterius yang ingin menjatuhkan salah satu perusahaan alkohol terbesar di sana: Constellation Brands Inc.

Aku berhenti di depan gedung besar itu, berniat masuk. Namun tiba-tiba seorang pria berlari ke arahku dari pintu utama. Aku nyaris masuk ke mobil saat dia memanggil...

"Alea!"

Aku terdiam. Nama itu kembali disebutkan dengan penuh harapan.

Pria itu mendekat dan tersenyum bahagia. "Hosh... aku mencarimu di mana-mana. Tak kusangka kau tinggal di sini."

Tatapannya dalam, tulus. Jantungku berdetak tak karuan. Tapi ini bukan saatnya untuk kelemahan.

Kutarik tangannya masuk ke dalam mobil. Ia tampak bingung. "Kita mau ke mana?" tanyanya.

"Aku bukan Alea, jangan panggil aku dengan nama itu."

Alisnya mengerut. "Aku tidak mengerti. Kau bilang kau menyukaiku. Aku adalah pria yang paling baik yang pernah kau temui. Lalu mengapa berpura-pura tak mengenaliku?"

Aku duduk di pangkuannya, melepas kacamataku, dan menatapnya dalam.

"Arnan... Alea hanya panggilanku di negaramu itu. Namaku Sally. Kau bisa memanggilku Sally di sini," bisikku lembut.

Ia terpaku. Terjebak pesonaku? Atau mencoba memahami?

Namun, Arnan bukan pria sembarangan. Ia membalikkan tubuhku, mendorong jok ke belakang.

"Sally? Kau ini wanita penggoda, ya? Aku menyukaimu. Tapi aku yakin kau melakukan hal yang sama pada pria lain. Aku penasaran... kenapa kau lakukan ini padaku?"

Tanganku dicengkeramnya erat. Aku tak melawan. Hanya menatapnya.

"Tidak ada alasan lain... aku hanya menyukaimu. Jadi tolong, lepaskan... sakit."

Dia mendekat. Nafasnya menyapu wajahku. Lalu bibirnya menyentuh bibirku-panas, dalam, bahkan menggigit sampai berdarah. Tapi aku tak menghentikannya. Aku menikmatinya. Namun, ia melepas ciuman itu begitu saja.

Dengan mata sendu, ia berkata, "Jangan menggodaku lebih dari ini. Aku tahu kata-katamu hanya bualan. Entah apa tujuanmu mendekatiku hari itu. Tapi yang pasti... aku menyukaimu. Aku menyukaimu dengan tulus, Alea."

            
            

COPYRIGHT(©) 2022